Oleh ustadz Hatta Syamsuddin
Salah satu yang sering dipahami salah oleh banyak orang dalam kehidupan sehari-hari adalah tentang makna Tawakkal. Kata tawakkal sering diasumsikan sebagai sikap menyerah pasrah tanpa adanya usaha sama sekali. Sehingga banyak dengan alasan tawakkal lalu orang banyak berhenti dari upaya dan usaha. Maka kita sering dengar kalimat "jodoh ada di tangan Tuhan" atau " kalau sudah rejeki tidak kemana" – meski secara makna benar adanya - sebagai upaya pelegalan atas berhentinya seseorang dari upaya yang sesungguhnya masih terbentang luas dihadapannya.
Salah satu yang sering dipahami salah oleh banyak orang dalam kehidupan sehari-hari adalah tentang makna Tawakkal. Kata tawakkal sering diasumsikan sebagai sikap menyerah pasrah tanpa adanya usaha sama sekali. Sehingga banyak dengan alasan tawakkal lalu orang banyak berhenti dari upaya dan usaha. Maka kita sering dengar kalimat "jodoh ada di tangan Tuhan" atau " kalau sudah rejeki tidak kemana" – meski secara makna benar adanya - sebagai upaya pelegalan atas berhentinya seseorang dari upaya yang sesungguhnya masih terbentang luas dihadapannya.
Perintah bertawakkal begitu jelas dalam Al-Quran, bahkan diulang setidaknya pada 7 tempat dalam Al-Quran, dengan lafadz : wa ‘ala Allahi falyatawakkalil mu’minuun : “Dan kepada Allah-lah orang-orang beriman bertawakkal”. Secara Bahasa, Tawakkal adalah bersandar pada yang lainnya dalam sebuah urusan. Ibnu Rojab dalam Jami’ Ulum wal Hikam memberikan definisi tawakkal sebagai : kejujuran bergantungnya hati kepada Allah SWT dalam mencari maslahat dan menghindari madharat dalam urusan dunia dan akhirat.
Bersandar dan bergantungnya hati inilah yang kemudian sering digambarkan sebagai sikap pasif tanpa usaha. Padahal sejatinya sejarah jaman nabi dan riwayat shohih tidaklah demikian menggambarkan. Salah satu riwayat yang jelas mengaskan bahwa Tawakkal bukan berarti berhenti dari usaha, adalah riwayat dari Anas bin Malik, seorang laki-laki bertanya pada Rasul : Ya Rasulullah, apakah aku mengikat untanya dan bertawakkal, atau aku melepaskannya dan bertawakkal. Rasulullah SAW bersabda : ikat dia lalu bertawakallah (HR Tirmidzi). Jadi Rasulullah SAW jelas melarang seorang bertawakkal tanpa didahului usaha terlebih dahulu. Dalam bahasan para ulama ini sering disebut dengan akhdzul bilasbaab yaitu berusaha dengan seoptimal mungkin, melakukan upaya-upaya yang menunjang tercapainya sesuatu, barulah kemudian bertawakkal, menyandarkan urusan tersebut serta keputusannya hanya kepada Allah semata.
Riwayat lain dengan pelajaran senada, disebutkan dalam Shohih Bukhori, oleh Ibnu Abbas: Dahulu Orang Yaman saat berhaji tidak membawa bekal dan mereka mengatakan : kami bertawakkal. Ketika sampai di Mekkah mereka meminta-minta. Maka Allah SWT turunkan ayat : “berbekallah kalian, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah ketaqwaan”.
Yang menarik, bahkan apabila kita berada dalam suatu kondisi yang berat lagi terjepit, itu juga bukan alasan untuk kita meninggalkan daya upaya. Tetapi yang diharapkan adalah terus berupaya kuat, meskipun secara hitungan logika kita tidak akan berhasil sekalipun. Kisah ibunda Maryam dalam hal ini patut kita renungkan. Dalam kondisi selepas melahirkan, Allah SWT memerintahkan untuk menggoncangkan pohon kurma untuk mendapatkan buahnya. Secara logika perintah itu adalah mustahil mengingat betapa kokohnya pohon kurma dan betapa lemahnya kondisi fisik wanita yang sehabis melahirkan. Namun ternyata pertolongan Allah benar-benar datang, setelah tetap dilakukan upaya tersebut meskipun terlihat sebagai hal yang tidak mungkin. Begitu indah Al-Quran menceritakan : “ dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu” (QS Maryam 25)
Memahami tawakkal dengan baik akan menjadikan seorang muslim optimis dalam menghadapi masa depannya. Ia juga akan berupaya dengan sungguh-sungguh karena ia memahami sepenuhnya tawakkal harus dimulai dengan usaha. Bahkan dengan tawakkal pula, seorang tidak akan merasa terlampau sedih saat kemudian belum mendapatkan apa yang dicita-citakannya. Ia meyakini bahwa kehidupan terus berputar, dan atas kesungguhan usaha dan ketulusan niatnya itulah ia akan dinilai di akhirat nanti, bukan semata atas prestasi atau capaian yang dihasilkan. Wallahu a’lam bishowab
No comments:
Post a Comment